Ambisi Berburu Opini WTP
Beberapa hari terakhir Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali menelan pil pahit dalam kasus suap Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) ke pejabat dan auditor BPK. Mirisnya, dua dari empat orang yang ditetapkan KPK sebagai pemeran utama dari drama ini tak lain adalah oknum dari BPK. Yang sepatutnya sebagai lembaga pemerintah bergerak dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab terhadap keuangan negara sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan. Sebuah realita tragis dalam kehidupan lembaga negara yang seharusnya tidak terjadi.
Namun nasi sudah menjadi bubur sehingga yang terjadi hanya dapat dijadikan sebuah pembelajaran. Anehnya, pelajaran serupa terus diulang seakan sedang mengajari seorang anak kecil cara membaca sebuah buku. Sangat disayangkan BPK yang seharusnya bekerja sebagai pemeriksa pengelolaan keuangan dengan mengedepankan nilai - nilai kejujuran dan kebenaran justru menjadi contoh dari bobroknya mentalitas PNS Indonesia dalam kualitasnya sebagai pelayan masyarakat. Lunturnya integritas dan kualitas pejabat pemerintahan seakan menjadi tren kehidupan sehari - hari dalam kehidupan lembaga negara. Suap dan Korupsi menjadi hal yang wajar dan dapat ditolerir asalkan turut mendapatkan keuntungan. Kasus suap Kemendes terhadap pejabat dan auditor BPK terkait pemberian opini WTP menjadi contoh terbaru.
Pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) memang sudah menjadi buruan banyak kementrian dan lembaga bahkan hingga tingkat pemerintah daerah dan kabupaten. Secara sederhana, WTP merupakan salah satu bentuk apresiasi BPK terhadap kementrian atau lembaga tertentu. Opini ini diberikan terhadap laporan keuangan yang telah sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) sebagaimana tertuang dalam PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Proses pemberian opini ini terhadap kementrian atau lembaga tertentu merupakan proses panjang mulai dari penerapan SAP hingga pemberian opini itu sendiri. Namun yang menjadi permasalah dalam pemberian opini ini dengan penerapan sistem SAP justru sebenarnya terletak bukan dalam unsur perhitungan matematis secara kuantitatif. Melainkan unsur kualitatif yang dapat dipengaruhi oleh subjektifitas dalam penilaian seorang auditor BPK terhadap suatu laporan keuangan. Disebabkan adanya unsur penilaian subjektif ini, seringkali oknum - oknum tertentu berusaha meraih opini WTP dari BPK dengan menjanjikan 'imbalan' tertentu sebagai tanda balas jasa.
Dalam kasus suap yang tengah kembali menghantui BPK sebagai lembaga keuangan negara, setidaknya dapat diidentifikasikan ada beberapa faktor besar yang menjadi penentu dalam terjadinya siklus suap - menyuap ini. Salah satunya adalah ambisi yang tidak benar dalam perburuan mendapatkan opini WTP. Kementrian atau lembaga yang menerima opini WTP dari BPK akan menerima sejumlah penghargaan (reward) baik berupa dana insentif, maupun penghargaan dalam bentuk lain. Sehingga seringkali yang menjadi tujuan utama perburuan opini WTP ini bukanlah meningkatkan kualitas dalam kehidupan lembaga atau kementrian tertentu. Namun reward yang dijanjikan menjadi garis akhir dari tujuan perburuan ini. Sehingga dalam melakukan perburuan tersebut seringkali menghalalkan segala cara demi meraih penghargaan berupa opini WTP.
Yang dapat menjadi akibat fatal dikemudian hari dari ambisi yang salah dalam meraih opini WTP adalah perkembangan dan perbaikan hanya sekedar hitam di atas putih. Hanya sekedar laporan yang dihiasi dengan angka - angka rekayasa demi meraih opini yang temporer tanpa membawa dampak perubahan apapun. Dan yang paling ekstrem dapat berujung terjadinya penyakit kronis negeri ini: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang menyebabkan defisit kas negara. Oleh karena itu sumber daya manusia yang berkualitas dan berintegritas dengan sebuah visi jelas menjadi salah satu faktor penentu dalam mencapai sebuah tujuan perbaikan. Bukan hanya sekedar mekanisme semata.