top of page

Revolusi Mental Birokrasi dan Etika Penegakan Hukum di Indonesia



6 Juli 2017 Panah Kirana berkesempatan untuk melakukan wawancara langsung kepada Bapak Antasari Azhar, mantan ketua KPK dan Bapak Thomas Pureklolon seorang dosen FLA Universitas Pelita Harapan. Kedua narasumber datang sebagai pembicara dalam acara senat HMFH yang bernama Romansa dengan menggangkat tema “ Revolusi mental birokrasi dan etika penegakan hukum di Indonesia”.


Berikut hasil wawancara bersama bapak Antasari :


Reporter : Selamat siang pak Antasari, kami dari LPM (lembaga pers mahasiswa) panah kirana. Terimakasih atas kesempatan yang bapak berikan kepada kami untuk melakukan wawancara hari ini. Seperti tema acara romansa yang berbicara tentang revolusi mental birokrasi dan etika penegakan hukum. Menurut bapak, apa yang menjadi permasalahan substansial birokrat di Indonesia ini? Apa yang perlu dibenahi dari birokrat kita karena kepercayaan masyarakat terhadap birokrat sangat kecil?


Antasari Azhar : Ada 3 aspek mengenai hal tersebut yang pertama adalah regulasi, kita punya UU ASN (undang-undang aparatut sipil negara), yang kedua itu adalah SDMnya ini yang menjadi kegalauan anda tadi ini ada difaktor SDM misalnya contoh istilah “bisa lambat mengapa dipercepat. Dan yang terakhir adalah sistem. Mereka yang bekerja dengan baik tetapi belum tentu mendapat promosi. Jadi untuk kedepan regulasi dimantapkan, SDM kompetensinya ditingkatkan, dan sistemnya ditegakan.


Reporter : Dalam garis besarnya, aspek-aspek tadi berpengaruh dalam jangkauan mereka melakukan tindak pidana misalnya korupsi?


Antasari Azhar : Ya pasti, namanya kecendrungan. Itu terkait SDM, istilah tadi “bisa lambat mengapa dipercepat”, itu merupakan trik untuk orang menyuap. Kecendrungan memang kesitu.


Reporter : Baik pak, seperti tema kita hari ini terkait revolusi mental birokrasi sebenarnya hal ini yang digaungkan oleh bapak Presiden kita, apakah dengan hal itu dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada birokrasi kita?


Antasari Azhar : Ya, karena hal yang kita idam-idamkan adalah reformasi itu. Tetapi kita jangan melenceng reformasinya, re kembali kepada formasinya on the track, cuma dalam perjalanan Presiden juga ada masalah lain bukan hanya itu. Pak Jokowi harus konsisten dalam masalah reformasi itu, sekaligus mengembalikan kepercayaan publik. Dan beliau masih konsisten, tetapi karena beliau merupakan kepala pemerintahan banyak masalah seperti akhir-akhir ini. Hal ini yang membuat apa yang sudah di perjuangan pak Jokowi ini sedikit tertunda.


Reporter : Menurut pandangan bapak, bagaimana “Trial by the press” seringkali mempengaruhi pandangan masyarakat dalam sebuah isu-isu yang tengah beredar di publik?


Antasari Azhar : Trial by the press itu memang kawan-kawan media sering kita ingatkan, cover both side itu selalu dilakukan. Contohnya saya datang ke kampus ini di kantin banyak yang makan padahal ini bulan puasa, jika saya punya pandangan negatif langsung saja saya declare bahwa UPH ini tidak benar. Tetapi itu tidak boleh seperti itu jika saya media, maka saya cover both side kepada anda dan saya tanya, dan ternyata dia non muslim, nahkan ini jelas akhirnya saya tidak nulis seperti tadi. Cover both side itu penting. Masyarakat juga harus kritis memilih media.


Setelah acara selesai kami juga bekesempatan untuk melakukan wawancara kepada bapak Thomas Pureklolon.


Reporter : Menurut bapak apa yang menjadi masalah subtansial birokrat kita terkait apa yang perlu dibenahi, misalnya berhubungan dengan etika birokrat kita saat ini.


Thomas P : Bagi saya etika yang dilakukan pemerintah saat ini dalam sistem kepemerintahan itu perlu banyak yang direformasi, merumuskan sesuatu yang sudah baik lalu berupaya meningkatkan apa yang akan terjadi kedepannya, konteks disini adalah dalam bidang hukum misalnya, kita harus melihat 3 hal yang pertama adalah apakah keadilan yang dapat dicari itu atau yang ditemukan itu berdasarkan hukum atau keadilan yang berdasarkan sosiologis atau filosofis. Kekuatan yang paling utama didalam itu entah keadilan yang bersifat hukum, sosiologis atau filosofis yang perlu diperhatikan untuk ketiga-tiganya adalah. Cuman ada 3 hal yaitu optio fundamentalis, tujuan dasar apa orang berupaya untuk mencari dan menemukan keadilan disitu apakah lahir dari kemauan murni untuk mendapatkan keadilan atau hanya titipan. Lalu langsung kepada sirkumtans yang mengitari ketika peristiwa itu terjadi. Yang paling utama adalah budaya. Budaya untuk menemukan keadilan itu.


Reporter : Pandangan bapak tentang intervensi kepada penengakan hukum kita?


Thomas P : Jika berbicara tentang intervensi, kita harus melihat kepada aspek yang lebih luas. Intervensi ini sebagai strategi atau intervensi sebagai lifestyle. Jika itu merupakan intervensi sebagai strategi maka itu jelas akan melahirkan konfik baru, dan itu konsekuensinya maka konsensus akan menjadi sangat sukar menyangkut hal demo atau kefasikan ego untuk menggolkan orang tersebut diuntungkan ini berbicara tentang negara. Bagaimana negaraharus tampil kuat. Jika sistem negara tidak kuat, negara akan dikuasai oleh orang-orang yangsiapa yanglebih kuat ia yang menguasai. Ini tidak bisa kita adalah negara demokrasi bukan fasis.


Reporter : Apa yang mejadi point penting dalam acara romansa hari ini?


Thomas P : Beragam ya, tetapi point besar hari ini adalah keadilan itu ditemukan ketika seseorangsudah melewati tahap atau dasar yang pertama adalah ada hukum, orang harus taat hukum, hukum yang ditaati akan mendapatkan kepastian hukum. Jika ada kepastian hukum,penegakannya maka akan mudah mendapatkan keadilan. Maka rumusan mendapatkan keadilan itu adalah hukum ditaati suapaya ada kepastian hukum maka di sanalah keadilan hadir sebagai panglima atau esensi dari hukum itu sendiri.

Tentang Kami
Anda beropini? Kami menyuarakan!

Suarakan tulisan anda bersama Panah Kirana. Kirimkan tulisan apa saja ke email kami dan akan kami suarakan di dalam kolom!

*Format: nama, judul, tulisan

Kirim Tulisan
Cari dengan tagar
No tags yet.
Social Media PANAH KIRANA
  • line
  • Instagram Social Icon

Ikuti terus perkembangan kami

bottom of page