Polemik LGBTQ+
sumber gambar: pinterest
Di tengah panasnya perkembangan isu-isu mengenai LGBTQ+ hal ini menarik minat saya untuk untuk membahas topik ini. Terutama ketika pernikahan sesama jenis telah dilegalisasikan di 26 negara di dunia, di Indonesia justru muncul gugatan untuk menjadikan LGBTQ+ sebagai tindak pidana perzinahan. LGBTQ+ adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer atau Questioning dan tanda ‘+’ disini menyiratkan bahwa masih banyak lagi kategori dalam spektrum luas identitas gender dan orientasi seksual seperti contohnya panseksual, bigender, dll.
Yang kemudian banyak menuai pro dan kontra serta menjadi pertanyaan banyak orang adalah apakah sebenarnya LGBTQ+ itu diperbolehkan atau tidak? Meninjau dari segi hukum, dalam pasal 292 KUHP tertulis “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” Dari pasal ini dapat kita simpulkan bahwa perbuatan LGBTQ+ antara sesama orang dewasa, maupun yang dilakukan oleh sesama orang belum dewasa tidak secara legal dilarang, akan tetapi yang dianggap sebagai perbuatan pidana hanyalah perbuatan yang dilakukan antara orang yang dewasa dengan orang yang belum dewasa.
Namun, apabila kita melihat ke dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diungkapkan bahwa definisi perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.” Kata “seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri” mengindikasikan bahwa sejatinya perkawinan antara sesama jenis adalah hal yang tabu di Indonesia. Meski sebenarnya tidak ada hukum yang menentangnya secara eksplisit, perkawinan yang dilakukan oleh kaum LGBTQ+ merupakan hal yang tidak diakui sah secara hukum.
Pada kenyataannya faktor pembawaan dari lahir turut mempengaruhi orientasi seksual dan identitas gender seseorang, misalkan tingkat hormon testosterone dan jumlah kromosom X Y saat lahir. Meskipun begitu, respon dari sebagian banyak masyarakat tetap menunjukkan penolakan, terlepas apakah hal itu berasal dari pembawaan sejak lahir atau faktor lingkungan sosialnya. Mereka yang menentang paham ini disebut sebagai homophobic yang berarti ‘memiliki intoleransi dan ketakutan irasional terhadap pria dan wanita homoseksual’.
Di dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan diulang kembali dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang memiliki “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun.” Kemudian pasal 28I ayat (2) menyatakan dengan jelas bahwa “setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Dari pasal-pasal diatas jelas menunjukkan bahwa setiap orang tidak sepantasnya menerima perlakuan diskriminatif atas dasar apapun, termasuk diskriminasi karena orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda dari masyarakat umumnya. Bahkan sudah menjadi tugas negara untuk melindungi mereka, seperti yang telah tercantum pada pasal 5 ayat (3) UU No. 39/1999 “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”
Namun pada kenyataannya, penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Sosial Masyarakat Arus Pelangi pada tahun 2013, menunjukkan sebanyak 89,3% kaum LGBTQ+ di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan, baik secara fisik maupun psikologi karena orientasi seksual, identitas gender, maupun ekspresi gendernya. Bahkan sebanyak 17,3% pernah melakukan percobaan bunuh diri.
Banyak yang berpendapat apabila LGBTQ+ disahkan akan merusak kodrat diri seorang manusia karena tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Di abad ke-21 ini, tidak seharusnya kita menjauhi atau bahkan melakukan tindakan diskriminasi terhadap suatu kelompok hanya karena adanya perbedaan orientasi seksual atau identitas gender. Institusi keagamaan boleh saja menolak mengakui LGBTQ+ apabila itu tidak sesuai dengan pengajaran agama mereka, namun mereka tidak boleh mendikte hukum tentang legalisasi LGBTQ+. Karena bagaimanapun juga Indonesia adalah negara hukum sesuai pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang sudah seharusnya berpacu untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Start writing your post here. You can insert images and videos by clicking on the icons above.