top of page

DEMOKRASI YANG BUKAN DEMOKRASI


sumber gambar: Pinterest


Setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan dari perbedaan itulah muncul pemikiran yang bervariasi. Oleh karena itu, aspirasi dari setiap orang sangatlah penting, karena perspektif yang dilihat dari sudut pandang setiap orang dapat membantu memperluas pemikiran dari masing-masing kita. Itulah sebabnya menyampaikan aspirasi adalah hak setiap manusia. Namun, di dalam penyampaian aspirasi terkadang tidak lepas dari suatu unsur kritikan, dimana kritik memang penting untuk pertumbuhan menjadi lebih baik. Apabila seorang tidak mau di kritik, maka ia tidak akan bisa menjadi maju.


Dewan Perwakilan Rakyat, sesuai dengan namanya merupakan perwakilan atau perpanjangan tangan dari suara rakyat. Salah satu fungsi dari DPR adalah untuk menyerap, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. Namun saat ini rakyat Indonesia sedang diresahkan oleh pengesahan revisi Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Sejumlah pasal didalam UU tersebut dinilai membuat DPR tidak tersentuh atau semakin kuat. Beberapa diantaranya, Pasal 122 huruf K yang menyatakan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR, dan Pasal 245 yang menyatakan bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.


Apabila kita melihat ke dalam UUD 1945, Pasal 20A ayat (3) menyatakan, bahwa “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.” yang menunjukkan bahwa memang benar anggota DPR memiliki hak kekebalan hukum untuk membicarakan secara lisan atau menyatakan pendapat secara tertulis dalam rapat-rapat DPR tanpa dapat dituntut di muka pengadilan. Mengenai hal ini, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan bahwa hak imunitas yang dimiliki anggota DPR sama seperti perlindungan terhadap wartawan dan advokat, yaitu sama-sama dilindungi oleh UU saat menjalankan tugas.


Namun yang meresahkan adalah adanya perbedaan yang sangat tipis dan cenderung subjektif antara penghinaan dan kritikan. Apa yang oleh satu orang dianggap sebagai mengkritik, dapat dipersepsikan oleh orang lain sebagai menghina. Dalam kurun 24 jam sejak Change.org meluncurkan petisi “Tolak Revisi UU MD3 DPR Tidak Boleh Mempidanakan Kritik”, sudah terdapat lebih dari 117.000 tandatangan yang menyatakan dukungan, dan jumlah tersebut terus bertambah. Pembuat petisi menilai bahwa Pasal 122 huruf K adalah upaya untuk membungkam masyarakat yang ingin mengkritik DPR, sehingga DPR seakan menjadi lembaga yang otoriter.


Di era yang seharusnya sudah menjadi era penuh keterbukaan, sudah tidak seharusnya rakyat takut beraspirasi semata karena takut di pidana. Dimanakah letak demokrasi dalam hal ini? Hal ini merugikan hak konstitusional sebagai warga negara untuk diperlakukan sama di mata hukum. Seperti yang telah dinyatakan oleh Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, “Wakil rakyat saja punya hak kekebalan hukum, kenapa rakyat tidak punya hak kekebalan mengkritik wakilnya?” Daripada membuat suatu perundang-undangan yang memberikan kesan anti-kritik, seharusnya DPR selaku wakil rakyat lebih meningkatkan lagi kinerja mereka, karena rakyat Indonesia adalah rakyat yang cerdas. Apabila kinerja yang ditunjukkan baik, maka tidak akan ada alasan bagi mereka untuk memberikan kritikan. Justru sebaliknya, rakyat akan akan memberikan apresiasi.

Tentang Kami
Anda beropini? Kami menyuarakan!

Suarakan tulisan anda bersama Panah Kirana. Kirimkan tulisan apa saja ke email kami dan akan kami suarakan di dalam kolom!

*Format: nama, judul, tulisan

Kirim Tulisan
Cari dengan tagar
No tags yet.
Social Media PANAH KIRANA
  • line
  • Instagram Social Icon

Ikuti terus perkembangan kami

bottom of page