Muslim Cyber Army
sumber gambar: Pinterest.com
Baru-baru ini heboh penyorotan berita mengenai tertangkapnya anggota-anggota grup Muslim Cyber Army oleh Bareskrim Polri yang bekerjasama dengan Direktorat Keamanan Khusus Badan Intelijen. Artikel ini akan mengupas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul di kepala pembaca mengenai Muslim Cyber Army.
Apa itu Muslim Cyber Army?
Muslim Cyber Army atau MCA adalah sebuah grup terstruktur penyebar hoax, dimana grup ini melakukan pemberitaan isu yang tidak benar atau bohong, sehingga menyebabkan keresahan pada masyarakat. Grup ini terdiri dari empat jaringan yang bekerja yaitu menampung, merencanakan, menyebar dan menyerang grup lain supaya hoax tersebut berhasil disebar ke masyarakat. Grup ini telah menyebarkan isu-isu yang tidak benar seperti kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), penculikan ulama, mencemarkan nama baik presiden, menghina pemerintah dan tokoh-tokoh agama, dan masih banyak yang lain. Mereka jugalah yang telah menyebarkan hoax mengenai penganiayaan pemuka agama dan perusakan tempat ibadah akhir-akhir ini. Kelompok ini bekerja kebanyakan melalui aplikasi WhatsApp, Telegram dan Facebook. Salah satu “anak grup” mereka bernama Sniper MCA, dimana tugas grup ini adalah menyebarkan konten berisi virus pada orang atau kelompok yang mereka anggap sebagai lawan, dimana virus tersebut dapat merusak perangkat elektronik siapapun yang menerima.
Mengapa mereka berbahaya dan apa dampak dari perbuatan mereka?
Seperti halnya dalam kasus Saracen, kini kita mengetahui bahwa hoax dan berita bohong bernuansa SARA yang disebarkan di media sosial itu merupakan suatu tindakan yang terorganisir dan terstruktur, dan bukan hanya tindakan seorang individu saja. Di era yang semuanya serba “cari di internet”, tentu hal ini sangat berbahaya. Dengan banyaknya informasi-informasi yang bersliweran tanpa batas, terkadang kita dapat mengalami kesulitan untuk membedakan antara informasi yang benar dan informasi yang sesat. Hal ini semakin diperparah dengan banyaknya user yang tidak memfilter berita sebelum melakukan repost dan rebroadcast. Viralnya, hal-hal yang tidak benar seringkali memprovokasi keresahan yang luar biasa di masyarakat yang tidak jarang juga menimbulkan perpecahan.
Apakah perbuatan mereka melanggar hukum?
Perbuatan mereka ini tentu saja melanggar sejumlah pasal dalam Undang-undang No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tapi tak hanya itu, tindakan mereka juga melanggar UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Pasal 45A UU ITE berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Yang harus diperhatikan disini adalah kata-kata “setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan”. Jadi siapapun yang menyebarkan, tidak hanya kelompok-kelompok seperti MCA dan Saracen, yang menyebarkan berita bohong dapat dijerat pasal ini. Artinya, bahkan orang biasa seperti kita, apabila menyebarkan berita bohong dapat dikenakan pasal ini.
Dalam artikel Dailymail.co.uk, diberitakan bahwa WhatsApp sejak Januari kemarin tengah mengerjakan fitur baru dalam aplikasinya tersebut, dimana fitur itu akan memberi notifikasi kepada para user mengetahui jika message yang diterimanya sudah di forward sebanyak 25 kali atau lebih, sehingga bisa dikategorikan sebagai spam. Fitur ini diharapkan dapat membantu memberantas maraknya penyebaran spam dan hoax akhir-akhir ini. Namun bagaimanapun juga, untuk dapat benar-benar memberantas hoax akan dibutuhkan partisipasi dari masyarakat. Masyarakat harus menjadi lebih kritis dalam menerima suatu berita, sebelum menyebarkan apapun sebaiknya dicari tahu dahulu kebenaran dari berita tersebut agar tidak ikut memperbesar api yang telah berkobar.