top of page

Hari Puisi Sedunia: Api Puisi Indonesia yang Memadam


sumber: google.com

“Hasrat”

Sejenak aku terdiam

Di dalam kesunyian malam

Semilir angin berhembus

Memecah hati yang kudus

Ingin ku berlari

Menembus kepedihan hati

Tersengat panas mentari

Menuju istana pelangi

Aku malu

Tak kuasa menahan pilu

Bergelora bak ombak di laut

Berteriak bersungut-sungut

Pikiran kosong melayang-layang

Menuju singgasana keindahan

Setiap memori tak terbayang

Aku tersenyum kepada hujan

Bahasa bersemayam di udara

Tulisan tenggelam di lautan

Benarkah ini cerita kehidupan

Jika aku yang melukiskan

Kehidupan adalah kesucian

Kematian bukanlah kekudusan

Kenaifan adalah kebohongan

Perasaan bukanlah permainan

Aku tersadar dari angin malam

Memadu kasih mengundang imajinasi

Ku terlelap dalam cerita kelam

Hidup ini bukan sebuah fantasi

---

Pertemuan UNESCO pada tahun 1999 di Perancis menjadi awal mula lahirnya Hari Puisi Sedunia yang kita peringati setiap tanggal 21 Maret. Tujuan hari peringatan ini untuk mendorong masyarakat dunia melestarikan puisi sehingga tidak lenyap oleh waktu serta sebagai bentuk dukungan kepada para penulis puisi.


Di Indonesia, terdapat duo penyanyi yang sering menyelenggarakan musikalisasi puisi seperti Ari Malibu dan Reda Gaudiamo yang biasa dikenal dengan AriReda. Salah satu musikalisasi puisi terkenal yang mereka bawakan ialah “Aku Ingin” yang diciptakan oleh Sapardi Djoko Damono.

Setiap karya puisi memiliki makna tersendiri yang terkadang diinterpretasikan secara berbeda oleh pembaca atau pendengarnya. Menurut Sapardi Djoko Damono bahwa sebuah puisi akan menjadi hidup jika diinterpretasikan berbagai macam oleh orang lain. Pertanyaannya sekarang, bagaimana mungkin puisi tetap hidup jika terjadi kemunduran dalam peminatnya?


Namun demikian, masih terdapat komunitas-komunitas pencinta puisi di Indonesia yang tetap melestarikan salah satu karya sastra ini. Jika dianalogikan, maka bak api yang sekecil apapun akan tetap menyala, puisi juga akan menjadi suatu budaya yang hidup. Diangkat dari salah satu Puisi Wiji Thukul berjudul “penyair” dapat membangkitkan semangat kita untuk tetap berkata melalui tulisan,


“Penyair”

jika tak ada mesin ketik

aku akan menulis dengan tangan

jika tak ada tinta hitam

aku akan menulis dengan arang

jika tak ada kertas

aku akan menulis pada dinding

jika aku menulis dilarang

aku akan menulis dengan

tetes darah!

(1988)


Tentang Kami
Anda beropini? Kami menyuarakan!

Suarakan tulisan anda bersama Panah Kirana. Kirimkan tulisan apa saja ke email kami dan akan kami suarakan di dalam kolom!

*Format: nama, judul, tulisan

Kirim Tulisan
Cari dengan tagar
No tags yet.
Social Media PANAH KIRANA
  • line
  • Instagram Social Icon

Ikuti terus perkembangan kami

bottom of page