Hari Peduli Autisme Sedunia
sumber gambar: google.com
Autisme adalah sebuah gangguan perkembangan saraf yang diderita pada masa perkembangan awal anak. Autisme atau yang juga dikenal dengan autism spectrum disorder umumnya mengacu pada gangguan dengan ciri kesulitan dalam bersosialisasi dan interaksi sosial, kesulitan berkomunikasi secara verbal maupun non-verbal, dan adanya perilaku berulang yang cenderung kaku.
Penggunaan kata spectrum dalam autism spectrum disorder mengacu kepada berbagai macam tantangan yang dihadapi oleh masing-masing pengidap autistik. Penggunaan kata spectrum tak hanya menggambarkan luasnya variasi tantangan yang dihadapi oleh para pengidap autistik, namun juga sebagai penggambaran terhadap kelebihan yang dimiliki masing-masing pribadi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak terdapat definisi untuk kata autis, yang ada hanyalah autisme dan autistik. Kata autisme merupakan serapan dari bahasa Inggris autism. Sedangkan kata autistik sendiri merupakan bentuk turunan dari kata autisme yang didefinisikan sebagai “terganggu jika berhubungan dengan orang lain”.
Autisme memiliki banyak bentuk dan tidak hanya terbatas pada ciri tertentu. Mengutip dari situs resmi autismspeaks.org, berbagai macam bentuk autisme ini disebabkan oleh berbagai macam kombinasi genetik dan pengaruh lingkungan.
Sejarah panjang terhadap penelitian gangguan autisme telah dimulai sejak awal abad 20. Autisme pertama kali ditemukan pada tahun 1908 oleh Eugene Bleuler, seorang psikiater asal Swiss. Kata autism (austisme) digunakan oleh Eugene untuk menamakan kelainan skizofernia pada pasiennya. Leo Kanner yang adalah seorang psikiater anak, pada tahun 1943 meneliti 11 orang anak dengan gejala kesulitan dalam berinteraksi sosial, beradaptasi pada perubahan pola rutinitas, memiliki ingatan yang baik, sensitif terhadap rangsangan (terutama suara), alergi makanan, dan memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Kemudian secara terpisah, berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Hans Asperger ditemukan ciri yang serupa pada anak autistik. Hans menjelaskan bahwa dari hasil penelitiannya dia menemukan perbedaan dalam kemampuan motorik yang menunjukkan anak yang mengidap autistik cenderung lebih ceroboh.
Beberapa dekade kemudian pada tahun 1960an Bruno Bettelheim, seorang psikolog anak, menarik sebuah konklusi yang disebutnya autistik setelah melakukan 3 sesi terapi pada anak. Dia menyebutkan bahwa perilaku autistik pada anak disebabkan oleh perlakuan dingin yang diterima anak dari ibu mereka. Namun konklusi yang diberikan Bruno Bettelheim segera ditolak oleh Bernard Rimland, seorang psikolog yang memiliki anak autistik yang menyatakan keberatannya terhadap pandangan Bruno. Sebelum tahun 1970, autisme seringkali dimiskonsepsi sebagai gangguan psikologis akibat perilaku buruk yang diterima anak dari orang tua maupun lingkungannya. Hingga akhirnya pada tahun 1980an, pemahaman dan metode terapi yang benar terhadap anak autistik mulai dipahami.
Mengutip dari news-medical.net, dikatakan bahwa berbagai hasil penelitian pada tahun 1980 menunjukkan bahwa faktor pengasuhan orang tua tidak memiliki peran dalam menyebabkan autisme. Diyakini penyebab autisme disebabkan oleh gangguan neurologis dan penyakit genetik lain seperti tuberous sclerosis, gangguan metabolisme atau kelainan kromosom seperti sindrom x yang rapuh.
Sejak pertama kali ditemukan, autisme terus menunjukkan angka peningkatan. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh autism.org.uk, 1 dari 100 orang memiliki autisme. Setidaknya di Inggris sendiri 700.000 orang adalah autistik. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian internasional tentang jumlah anak autistik yang dilakukan oleh statista terhadap negara pilihan seperti Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Jepang, Kanada, Australia, Brazil, Hongkong, dan Portugal menunjukkan negara dengan angka pengidap autisme tertinggi dipegang oleh Jepang dengan jumlah 161 anak autistik tiap 10.000 anak.
Meskipun belum terdapat data yang resmi mengenai jumlah pasti dari pengidap autisme di Indonesia, berdasarkan rumahhautis.org, tahun 2015 diperkirakan satu per 250 anak mengalami ganguan autis. Tahun 2015 diperkirakan terdapat kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme dan 134.000 penyandang autis di Indonesia. Banyaknya jumlah penyandang autisme di Indonesia tidak menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu yang awam. Justru sebaliknya, masih banyak orang tua yang belum menerima anaknya autis, bahkan malu dengan hal tersebut. Hal ini disebutkan oleh Melly Budhiman, seorang pakar autisme dan ketua Yayasan Autisma Indonesia dalam sebuah artikel CNN Indonesia.
Kondisi khusus anak autistik tidak menjadikan anak tersebut diperlakukan dengan baik dan sewajarnya. Meski sebagian masyarakat telah dapat menerima dan memahami kondisi anak autistik, di sisi lain justru anak tersebut rentan menjadi korban bully. Bahkan sebuah studi di Amerika Serikat menunjukkan angka bullying yang dialami oleh anak autistik masih relatif tinggi. 46% dari anak autistik setidaknya pernah menjadi korban penindasan semasa SMP dan SMA berdasarkan sebuah artikel dari majalah TIME. Tak hanya terhadap anak autistik, namun kasus bully terhadap anak berkubutuhan khusus ini secara umum sering terjadi di kalangan pelajar. Salah satu contohnya adalah kasus bully terhadap mahasiswa gunadarma berkebutuhan khusus pertengahan tahun lalu.
Rentannya kasus bullying dialami oleh anak autistik menjadi hal yang sangat memprihatinkan. Hal ini juga turut disebabkan karena miskonsepsi publik terhadap apa itu autisme. Sebagian masyarakat justru menganggap dengan mem-bully anak autistik menjadi sebuah lelucon yang wajar. Namun hal tersebut justru dapat mengakibatkan depresi yang dapat mengganggu psikis korban bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim dapat mengakibatkan sakit secara fisik akibat stress yang di derita korban. Oleh karena itu, penting untuk terus mengedukasi diri terhadap apa itu autisme dan bagaimana cara menanganinya. Sehingga dengan demikian miskonsepsi terhadap autisme dapat minimalisir.