top of page

Apakah Sesuai “Standar” Itu Baik?


sumber: google.com

Standardized test atau ujian yang telah di standardisasi seringkali dijadikan patokan untuk menguji kepintaran seorang siswa. Standardized test sekarang disebut juga sebagai salah satu bentuk edukasi modern, karena begitu banyak negara yang menerapkan ujian semacam ini ke dalam sistem pendidikan mereka. Jenis ujian ini pertama kali dicetuskan penerapannya oleh seseorang yang bernama Horace Mann pada tahun 1845. Horace Mann adalah seorang politikus, yang pada akhirnya juga menjadi seorang representatif untuk negara bagian Massachusetts. Tujuan utamanya mencetuskan adanya ujian terstandardisasi adalah karena ia menginginkan adanya suatu keadilan bagi seluruh anak-anak sekolah dari kalangan manapun, agar mereka bisa mendapatkan tingkat pendidikan yang sama di seluruh Amerika.


Namun, yang disayangkan adalah dengan adanya ujian terstandardisasi, para guru yang mengajar di sekolah-sekolah malah jadi terlalu berpatokan kepada materi yang akan dikeluarkan di ujian tersebut alih-alih mengajar dengan tujuan agar murid mendapatkan pengetahuan seluas-luasnya. Hal ini akhirnya menciptakan murid-murid yang hanya mengetahui sedikit pengetahuan di luar “kerangka” ujian tersebut. Para murid tidak dilatih untuk menggunakan logika nalar mereka, melainkan cenderung dituntut untuk lebih banyak menghafal.


Di Indonesia sendiri, terdapat ujian berstandar nasional atau Ujian Nasional (UN). UN merupakan salah satu alat evaluasi yang digunakan oleh pemerintah untuk mengukur standar pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, mata pelajaran yang diuji adalah mata pelajaran yang standar atau seharusnya diajarkan di setiap sekolah seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA. Untuk siswa/i tingkat SMA, dapat memilih sesuai dengan jurusannya yaitu IPA atau IPS. Belakangan ini UN telah diadakan dengan sistem komputerisasi, dimana siswa tidak lagi menggunakan pensil 2B untuk mengisi lembar jawaban melainkan tinggal memilih jawaban yang benar di komputer.


Menurut pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dimaksud dengan standar pendidikan nasional adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 35 ayat (2) dari undang-undang yang sama menyatakan bahwa standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, saran dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah sebenarnya sistem ini efektif?


Pada tahun 2012, Finlandia disebut sebagai negara dengan predikat pemilik sistem pendidikan terbaik di dunia. Apabila disandingkan dengan negara kita, Indonesia memiliki peringkat jauh dibawahnya, bahkan Indonesia tidak masuk ke dalam 20 besar. Meskipun sekarang posisi Finlandia telah dilengserkan oleh Korea Selatan, namun masih banyak yang beranggapan bahwa sistem pendidikan Finlandia sangat patut untuk dijadikan pedoman. Salah satu alasan Finlandia menjadi negara dengan sistem pendidikan yang baik adalah mereka sangat mementingkan adanya “inner motivation” dari dalam diri masing-masing siswa. Menurut pandangan sistem pendidikan Finlandia, “inner motivation” jauh lebih penting dibandingkan “outer motivation” yaitu dorongan dari luar seperti dari guru atau orang tua. Cara menumbuhkan motivasi dari dalam diri mereka adalah dengan mendorong siswa agar berpikir, memahami, dan mencari informasi sendiri. Selain itu, evaluasi terhadap siswa dilakukan melalui partisipasi mereka sehari-hari dalam kelas dan bukan hanya melalui sebuah ujian akhir. Dari situlah setiap siswa akhirnya didorong untuk berpikir kritis dan mampu bertanggungjawab.


Alih-alih menggunakan ujian yang telah distandardisasi untuk meratakan pendidikan, di Finlandia semua sekolah dibuat sama rata. Tidak ada sekolah elit atau eksklusif. Secara teori, semua sekolah dalam jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah telah dibuat sama rata, dengan level edukasi yang juga dibuat sama, sehingga tidak diperlukan adanya elitisme. Profesi sebagai seorang guru juga sangat dihargai disana, dimana profesi guru memiliki prestise tersendiri karena profesi tersebut hanya dapat diambil oleh 10% lulusan dengan nilai tertinggi. Jadi di sini dapat kita lihat bahwa mereka menggunakan cara-cara yang lebih holistik dan tidak hanya terfokus pada aspek nilai saja.


Apabila kita kembali bandingkan dengan UN yang hanya menguji empat mata pelajaran, dimana sebenarnya tidak semua murid mahir dalam keempat mata pelajaran tersebut. Bisa saja seorang murid mahir dalam hal yang membutuhkan kreativitas seperti seni rupa namun tidak mahir dalam matematika, atau bisa saja seorang murid mahir dalam berbahasa asing yang tidak dimasukkan ke dalam ujian standar nasional. Namun karena adanya UN, maka seringnya nilai “kepintaran” seorang murid hanya akan dilihat dari nilai-nilai tersebut saja. Akibatnya, murid-murid hanya akan berpatok untuk mendapatkan nilai yang tinggi pada UN dan tidak jarang akan menghalalkan segala cara, bahkan dengan melakukan kecurangan seperti mencontek. Mereka tidak akan mengembangkan kemampuan sesuai dengan bakat dan minat mereka. Selain itu, belum tentu mata pelajaran yang digunakan sebagai standar kelulusan tersebut dapat diaplikasikan oleh para siswa ke dalam kehidupan sehari-hari mereka.


Tentang Kami
Anda beropini? Kami menyuarakan!

Suarakan tulisan anda bersama Panah Kirana. Kirimkan tulisan apa saja ke email kami dan akan kami suarakan di dalam kolom!

*Format: nama, judul, tulisan

Kirim Tulisan
Cari dengan tagar
No tags yet.
Social Media PANAH KIRANA
  • line
  • Instagram Social Icon

Ikuti terus perkembangan kami

bottom of page