REFLEKSI PENERAPAN PANCASILA: ANTARA HARAPAN DAN PENGHIANATAN
sumber: google.com
Riuh gemuruh suara masyarakat nyaring terdengar setiap kali merayakan hari besar nasional khususnya pada hari lahirnya Pancasila. Pancasila yang bermakna 5 nilai dan diperingati per 1 Juni tiap tahunnya merupakan satu cita-cita Bung Karno dan para founding fathers lain untuk mampu menjadikan negara yang diperjuangkannya menjadi negara yang adil makmur gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja (kondisi negara yang sangat subur serta sangat makmur dan kehidupan di dalamnya tertib, tentram serta sejahtera dan berkecukupan segala sesuatunya).
Sebagai ideologi dan falsafah negara, kelahiran Pancasila tentu menjadi hari yang sangat bersejarah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita sampai saat ini. Namun, menjadi hal yang sangat ironis, miris dan tragis ketika realitas kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini sangat jauh dari apa yang diamanahkan oleh Pancasila itu sendiri.
Upaya pengimplementasian dan/atau bentuk realisasi dari butir-butir yang terkandung dalam Pancasila hanya sebatas dibibir yang akhirnya tidak jarang digunakan sebagai senjata dalam beretorika. Dari serangkaian rentetan kekuasaan yang pernah ada pasca lahirnya Pancasila sampai hari ini belum ada rezim yang mampu mengimplementasikan Pancasila secara maksimal dan utuh.
Pada rezim Orde Lama penerapan Pancasila terhambat oleh perjuangan revolusi; pada rezim Orde Baru penerapan Pancasila dijadikan alat indoktrinasi; dan pasca Reformasi, Pancasila menjadi tempat persembunyian para tirani. Adapun, untuk melihat sejauh mana upaya penerapan Pancasila dewasa ini, mari kita bedah amanah yang ada dalam Pancasila dan realitas kehidupan dewasa ini.
1. Ketuhanan yang Maha Esa
Rakyat Indonesia sebagai pemilik sah negara ini secara implisit dituntut untuk menjadikan norma agama sebagai pedoman dalam melakukan segala sesuatu dengan harapan agar setiap tindak tanduknya dapat mencerminkan nilai ketuhanan yang begitu sempurna.
FAKTANYA:
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita sangat tidak mencerminkan nilai ketuhanan atau tidak sejalan dengan norma agama. Salah satu contohnya adalah banyak diantara pejabat-pejabat yang bahkan sudah disumpah atas nama Tuhan dengan kitab suci diatas kepalanya justru masih tetap melakukan tindakan korupsi. Selain itu masih banyak pihak yang melakukan aksi provokasi, hasutan dan fitnah berbau SARA yang tidak jarang memicu konflik horizontal bahkan verikal hal tersebut tentu tidak diajarkan dalam norma agama.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Masyarakat Indonesia dituntut menjunjung tinggi nilai egaliter atau kesetaraan dalam menjalani kehidupan di bumi nusantara ini. Butir ke-2 Pancasila dapat diartikan juga sebagai upaya untuk memanusiakan manusia untuk terhindar dari penindasan dan perbudakan. Bahkan Bung Karno menegaskan bahwa tujuan daripada revolusi indonesia adalah untuk menghilangkan apa yang disebut l’exploitation de l’homme par l’homme dan l’exploitation de nation par nation (eksploitasi manusia terhadap manusia dan eksploitasi negara terhadap negara).
FAKTANYA:
Ketidakadilan masih terlihat jelas dan bahkan tak jarang itu terjadi secara langsung di depan mata kita. Salah satu contohnya adalah tentang penegakkan hukum di Indonesia. Prinsip equality before the law hanya mampu menjadi nilai teoritis yang pengimplementasiannya sangat jauh dari keluhuran atas makna kalimat di dalamnya. Ketidakadilan dan tindakan tidak beradab yang dilakukan oleh pemilik kekuasaan sangat dirasakan oleh Si Miskin yang memang tidak memiliki daya dan upaya untuk melakukan perlawanan. Tindakan dan perlakuan berbeda para penegak hukum dari sejak penyidikan sampai dengan pembacaan putusan bahkan hingga pelaksanaan hukuman secara eksplisit menunjukkan bukti nyata bahwa keadilan bukan untuk mereka yang miskin. Kita tentu sudah sering melihat perbedaan perlakukan terhadap orang kaya dan orang miskin ketika sama-sama dihadapkan pada masalah hukum.
Dengan kata lain, kehormatan dan martabat manusia saat ini yang menjadi salah satu nilai dalam sila ke-2 hanya dapat diukur dari aspek materialisme dan bukan pada kemurnian hati serta jiwa yang tulus ikhlas. Dampaknya, suatu nilai yang amat luhur untuk menciptakan manusia yang adil dan beradab justru melahirkan penyalahgunaan juga kesewenang-wenangan.
3. Persatuan Indonesia
Perbedaan dan kemajemukan bukanlah suatu hambatan dan/atau permasalahan, justru dengan perbedaan serta kemajemukan itulah kita dituntut untuk membangun bangsa dan negara Indonesia yang lebih baik. Karena hanya dengan persatuan, kita mampu menjadi suatu bangsa dan negara yang kuat dan utuh guna menghadapi tantangan zaman yang mencoba menggerus dan mematahkan semangat dan upaya kita untuk menjadikan bangsa dan negara ini sebagai bangsa dan negara yang disegani dunia.
FAKTANYA:
Baku hantam yang terjadi, konflik yang berkepanjangan juga lahirnya kelompok separatis menunjukkan sudah minimnya semangat persatuan yang ada di negara ini. Primoridalisme dan ego sentris menjadi penyakit kebangsaan yang saat ini kita hadapi bersama. Masyarakat saat ini hanya menjadikan kata “PERSATUAN” sebagai sebuah kata kosong yang tak bermakna. Mereka hanya mengkampanyekan semangat persatuan tanpa ada upaya untuk menjadikan persatuan sebagai hal yang nyata dan harus terealisasi.
Dibalik itu semua, justru mereka menggembosi dan mencabik-cabik semangat persatuan dengan menyuarakan politik identitas yang memang tumbuh secara alamiah dalam diri seorang manusia. Politik identitas memang merupakan suatu keniscayaan, namun perlu disadari juga bahwa politik identitas adalah malapetaka bagi keutuhan dan kesatuan negara Indonesia. Isu SARA yang hadir ditengah masyarakat saat ini seakan menjadi bom waktu yang dapat memecah belah bangsa Indonesia dan menempatkan kita pada konflik horizontal.
Perlu disadari, bahwa saat tidak adanya lagi rasa persatuan dan yang ada justru amarah, dendam, dan rasa saling curiga antar sesama kita, maka stabilitas politik dan ekonomi negara ini akan terganggu sehingga pada akhirnya nanti memungkinkan negara asing mengintervensi bahkan mengkolonisasi kembali negara yang sudah merdeka ini.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
Perlu digaris bawahi bahwa secara substansial butir ke-4 Pancasila ini memiliki makna yang erat kaitannya dengan konsep sosial politik Indonesia. Butir ke-4 Pancasila secara tersirat ingin memberikan gambaran bahwa rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Rakyat mendapat posisi strategis dan hak eksklusif dalam menentukan arah dan jalannya roda pemerintahan. Rakyat pula yang berhak menunjuk wakil-wakilnya dan memberikan mandat untuk memperjuangkan aspirasi rakyat secara keseluruhan. Secara singkat, sila ini ingin menegaskan tentang konsep berdemokrasi saat ini. Namun, demokrasi yang dimaksud dalam sila ke-4 adalah demokrasi yang mengedepankan aspek musyawarah hingga tercapainya mufakat melalui wakil-wakil rakyat yang berintegritas dan berkapasitas dalam menyuarakan kepentingan rakyat. Dengan kata lain, sila ke-4 menjadi satu petunjuk, satu mekanisme dan satu langkah teknis bagi rakyat indonesia untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
FAKTANYA:
Dewasa ini, rakyat Indonesia tidak mampu memahami makna yang terkandung dalam sila ke-4. Pemahaman mengenai sila ini hanya ditafsirkan sebagai hak politik yang cenderung tidak sejalan dengan apa yang diamanahkan. Konsep one man one vote pada prinsipnya bertentangan dengan konsep berdemokrasi Indonesia yang memilih permusyawarahan perwakilan sebagai solusi pemecahan masalah sosial ekonomi maupun sosial politik bangsa Indonesia.
Pemahaman atas konsep demokrasi yang saat ini digelorakan dan dikampanyekan oleh banyak orang hanyalah sebatas pemberian hak kepada setiap orang untuk memilih dan dipilih tanpa harus melihat kecakapan, kompetensi, wawasan, integritas dan ide serta gagasan apa yang mendorongnya untuk terlibat dalam politik praktis. One man one vote bukanlah demokrasi ala Indonesia yang khas serta identik dengan musyawarah perwakilannya.
Alhasil saat ini, dengan rakyat diberikan kebebasan untuk memilih dan dipilih, malah menjadikan Indonesia gagap dalam menjalankan roda pemerintahannya. Bagaimana tidak, Indonesia masih merupakan negara berkembang. Kebanyakan rakyatnya belum mengecap pendidikan formal atau hanya mendapatkan kualitas pendidikan yang tergolong rendah, namun seluruh rakyatnya diberikan hak untuk maju dalam kontetastasi politik yang tak jarang hanya bermodalkan materi serta popularitas. Disisi lain, rakyat yang tak terdidik itu juga diberikan hak untuk menentukan siapa pemimpin yang akan menjadi perwakilan mereka dengan bermodalkan informasi yang di dapat dari media cetak ataupun elektronik yang sudah diatur untuk membangun dan menggiring opini publik agar mendukung salah satu kandidat yang sudah menandatangani kontrak politik dengan pemilik media itu sendiri.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Amanah dari sila ke-5 ini adalah untuk membawa seluruh tumpah darah indonesia berada dalam kehidupan yang adil makmur tanpa adanya kesenjangan sosial antara Si Kaya dan Si Miskin. Bahkan Bung Karno pernah berpidato bahwa keberhasilan dari sila ke-5 adalah sampai tidak ada lagi seorang ibu yang menangis karena tidak mampu memberikan ASI kepada anaknya. Pancasila adalah aliran sosialisme dan aliran kiri itu sangat jelas terkandung dalam sila ini. Dengan konsep sosialisme, sila ke-5 diharapkan dapat menjadi alat perjuangan untuk menghancurkan neo-imprealisme dan kolonialisme sehingga negara Indonesia mampu menjadi negara yang berdikari secara politik, berdaulat secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial budaya.
FAKTANYA:
Nasib rakyat indonesia saat ini belum jauh berubah dari pasca kemerdekaan, yaitu sama-sama miskin dan menderita. Yang membedakan hanyalah bingkai atau kemasan dari kemiskinan itu sendiri pada masing-masing rezim. Di rezim orde lama, kemiskinan dikemas dengan dalil sibuk menuntaskan revolusi; di rezim orde baru dan pasca reformasi, kemiskinan dikemas dengan memperlihatkan pembangunan yang konon akan memberikan dampak pada kesejahteraan rakyat.
Realitas saat ini menunjukkan bahwa pembangun infrastruktur tidaklah berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Pembangunan jalan tol darat ataupun tol laut secara fungsional memang untuk mempermudah mobilitas rakyat secara keseluruhan dalam menjangkau wilayah tertentu, tapi jika kita renungkan sejenak, pembangunan infrastruktur sejatinya ditujukan untuk para pemilik modal untuk mempercepat arus dan perputaran kapital mereka sehingga produk-produk kapital dapat dengan mudah di distribusikan ke seluruh pelosok negeri dan pada akhirnya rakyat kita hanya akan tetap menjadi masyarakat yang konsumtif.
Rakyat Indonesia khususnya rakyat kecil tidak dijadikan objek pemberdayaan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan mutu SDM mereka. Rakyat kecil justru hanya dijadikan sebagai objek eksploitatif guna menunjang kebutuhan dan memenuhi kepentingan kapitalis dalam mendominasi dan memonopoli perekonomian nasional dari hilir hingga ke hulu.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belumlah terealisasi dengan baik. Bahkan, menurut Bank Dunia angka kemiskinan rakyat Indonesia mencapai 70 juta jiwa. Di negeri yang begitu kaya akan sumber daya alam, justru kita hanya menjadi budak dan orang yang mengharap belas kasih dari pemerintahan yang anti-rakyat.
Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa harus mampu mewujudkan apa yang memang menjadi nilai-nilai luhur dalam Pancasila itu sendiri. Satu hal yang perlu kita sadari bersama, bahwa Pancasila bukanlah suatu alat untuk sekedar menghilangkan radikalisme yang saat ini menjadi isu dan fenomena yang sangat panas. Sangat dangkal jika Pancasila hanya dijadikan ideologi penumpas kelompok separatis atau yang sekarang lebih dikenal dengan julukan terorisme. Lebih jauh dari itu, Pancasila adalah alat pemersatu bangsa Indonesia, sekaligus alat perjuangan untuk menjadikan negara kepulauan ini sebagai negara yang mampu membangun peradaban modern yang berketuhanan, berkeadilan, dan rakyatnya hidup dengan adil makmur dibawah payung harmoni.