top of page

Manusia Menghampiri Kematian


summer: Google.com


Kematian – semua orang akan mengalaminya suatu saat nanti. Kematian pada dasarnya adalah suatu siklus alam yang tidak terduga dan tidak dapat dihindari, namun di dalam beberapa kasus, manusia dapat ikut mengambil andil dalam prosesnya dan mempercepat kematian tersebut. Lalu, di dalam konteks apakah manusia berhak untuk mencabut nyawa orang lain? Ataukah manusia sama sekali tidak seharusnya “main hakim sendiri” dan memutus nyawa?


Beberapa cara manusia memutus nyawa dan mempercepat datangnya kematian tentu saja dengan suicide atau bunuh diri. Cara lain yaitu euthanasia dan physician-assisted dying. Masyarakat sering kali salah persepsi dan mengganggap euthanasia dan physician-assisted dying sebagai satu hal yang sama, namun pada kenyataannya tidak. Euthanasia adalah prosedur dimana seseorang – biasanya seorang dokter – mengambil suatu keputusan untuk mengakhiri nyawa seseorang yang biasanya memang telah mengalami sakit parah dan tidak dapat mengalami recovery. Hal ini biasanya dilakukan dengan consent dan restu dari pihak keluarga dari pasien. Contohnya, dengan cara mencabut alat penyokong hidup seseorang yang telah mengalami koma selama bertahun-tahun.


Beda halnya dengan physician-assisted dying atau dalam Bahasa Indonesia nya ‘meninggal dengan bantuan dokter’. Physician-assisted dying dilakukan atas permintaan dari korban yang merasa bahwa ia sudah tidak lagi ingin hidup. Hal ini mirip dengan bunuh diri, bedanya dalam physician-assisted dying, pasien meminta bantuan dari dokter untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang se-tidak sakit mungkin. Bedanya dengan euthanasia, pasien physician-assisted dying yang mengambil keputusan sendiri, sedangkan dalam euthanasia biasanya pasien tidak dapat mengambil keputusan sendiri sehingga keputusan tersebut harus diambil oleh orang lain atas kesepakatan bersama para pihak keluarga.


Kebijakan tentang legalitas euthanasia dan physician-assisted dying bervariasi. Meskipun euthanasia masih belum dilegalkan, namun physician-assisted dying telah di legalkan di 7 negara bagian Amerika Serikat. Negara-negara Belanda, Belgia dan Luxemburg memperbolehkan kedua halnya. Saat ini bahkan telah terdapat beberapa organisasi yang membantu orang-orang yang memiliki keinginan untuk mati, contohnya Exit International. Salah satu hal mendasar yang menjadi filosofi dari Exit International adalah ia ingin mendukung hak masing-masing pribadi untuk bisa memilih dan menetapkan sendiri waktu kematian, untuk menerima atau menolak perawatan paliatif, meminta dan diberikan bantuan dengan bunuh diri jika perlu.


Apakah yang membuat orang-orang sangat menentang euthanasia dan physician-assisted dying? Well, banyak yang menyatakan bahwa tindakan tersebut sama saja dengan membunuh. “Membunuh” menurut KBBI berarti menghilangkan (menghabisi, mencabut) nyawa, mematikan. Apabila kita melihat dari konteks secara hukum, maka di dalam KUHP tepatnya pasal 338 menyatakan “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Dan pasal 340 KUHP menyatakan “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”


Terdapat satu unsur yang sangat krusial dan langsung membedakan, yaitu unsur permintaan. Jika kita memandang dalam konteks bahwa orang itu sendiri yang meminta untuk dilakukan prosedur tersebut maka tentunya tidak dapat dimasukkan ke dalam definisi membunuh di atas. Dari sisi perspektif hak asasi manusia, sudah terdapat banyak sekali pasal-pasal yang mengatur tentang hak untuk hidup dan keberlangsungan hidup manusia, namun hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk pengaturan hak untuk mati. Tidakkah seharusnya hak untuk mati dipertimbangkan juga – terutama jika seorang manusia sudah merasa bahwa hidupnya tidak layak lagi untuk dijalani. Pasti akan ada yang berargumen, daripada memperdebatkan tentang hak dan permintaan manusia untuk mati, bukankah lebih baik kita memperbaiki situasi dan kondisi hidup yang mendorong manusia sampai memiliki keinginan tersebut?


Namun jika kita ingin memandang melalui kaca mata yang berbeda, bisa saja keputusan tersebut justru diambil oleh mereka yang telah memiliki kehidupan yang begitu fulfilling sehingga mereka menginginkan akhir hidup yang sempurna juga – kematian tanpa rasa sakit, dengan cara mereka sendiri dan waktu yang mereka pilih sendiri. Begitu banyak faktor yang berkontribusi dalam mengambil keputusan untuk melakukan euthanasia dan physician-assisted dying, bagaimana menurut Pembaca sekalian? Apakah seharusnya kebebasan dan hak untuk mati diberikan atau tidak?


Tentang Kami
Anda beropini? Kami menyuarakan!

Suarakan tulisan anda bersama Panah Kirana. Kirimkan tulisan apa saja ke email kami dan akan kami suarakan di dalam kolom!

*Format: nama, judul, tulisan

Kirim Tulisan
Cari dengan tagar
No tags yet.
Social Media PANAH KIRANA
  • line
  • Instagram Social Icon

Ikuti terus perkembangan kami

bottom of page