top of page

Kontroversi ‘Hits’ dari Pemblokiran Platform Sosial Tik Tok


sumber: google.com

Setelah ketenaran sesaat yang sempat diperoleh Tik Tok, aplikasi yang diperkenalkan ke Indonesia pada September 2017 ini secara resmi diblokir sementara oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) pada Selasa, 3 Juni lalu. Pemblokiran aplikasi jaringan sosial ini didahului oleh adanya petisi yang ditandatangani oleh lebih dari seratus ribu rakyat yang mendorong Kemenkominfo untuk melakukan pemblokiran akibat adanya konten-konten “tidak berfaedah”, berbau pornografis dan menyinggung SARA yang dikhawatirkan dapat merusak anak-anak bangsa, yang merupakan mayoritas pengguna aplikasi Tik Tok.


Tik Tok – yang nama aslinya merupakan ‘Douyin’ – adalah sebuah platform sosial asal Tiongkok yang mengizinkan penggunanya membuat dan mengunggah video-video pendek. Para pengguna bisa menambahkan musik untuk background suara video dan juga menggunakan filter, efek, dan stiker beragam. Memang, sepertinya tidak ada yang terdengar salah dari deskripsi aplikasi ini – di kasus ini, yang menjadi masalah bukan fitur-fitur Tik Tok, melainkan penggunanya serta video yang mereka unggah. Selain berisi konten-konten yang dapat tergolong “amoral” dan “aneh”, Tik Tok juga ramai dengan orang-orang mengunggah video diri mereka sendiri beraksi di depan kamera – adanya demand untuk video-video seperti ini mengundang para pemuda untuk ikut menghabiskan waktu mereka untuk hal tersebut demi ketenaran sementara. Bahkan, ada yang berusaha memperoleh pendapatan dari “ketenaran”nya di Tik Tok, seperti Bowo Alpenliebe yang sempat mengadakan meet and greet untuk para penggemarnya yang harus membayar sejumlah uang demi bertemu Bowo.


Menurut seorang ahli media sosial, Nukman Luftie, banyak anak muda menyukai Tik Tok karena aplikasi tersebut memberikan mereka ketenaran secara mudah. “Apabila Anda berhasil membuat konten yang menarik, orang akan melihat Anda sebagai seorang trendsetter dan mengikuti Anda,” ucap Nukman kepada The Jakarta Post. “Sayangnya, pengguna Tik Tok benar-benar akan melakukan apa saja untuk menjadi populer”. Seorang psikolog bernama Kasandra Putranto juga menilai bahwa mental dari anak-anak bangsa Indonesia belum siap untuk memanfaatkan aplikasi Tik Tok untuk kegunaan-kegunaan positif atau berguna. Mereka hanya terus berusaha untuk menaikkan popularitas maya mereka, meskipun ini berarti mereka harus melakukan tindakan-tindakan “aneh” untuk menarik perhatian.


Meskipun ada yang mendukung pemblokiran aplikasi ini, tidak sedikit juga yang justru memiliki pandangan berbeda. Beberapa netizen bersuara bahwa Tik Tok merupakan aplikasi yang dapat digunakan untuk membuat video-video “kreatif”, dan dapat berfungsi sebagai pelepas penat. Ada yang memprotes bahwa pemblokiran ini melanggar hak para individu untuk mengekspresikan diri, ada juga orang-orang yang mengakui bahwa memang ada konten yang sepatutnya dihapuskan di aplikasi tersebut, namun beropini bahwa pemblokiran seluruh aplikasi tersebut merupakan langkah yang seharusnya tidak perlu diambil pemerintah.


Aksi pemblokiran yang dilakukan oleh Kemenkominfo memiliki basis hukum, yaitu Pasal 40 ayat (2) dari Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014.


Di satu sisi, pemblokiran aplikasi Tik Tok dapat dilihat sebagai sebuah respons bahwa pemerintah mendengar keresahan rakyat tentang adanya konten-konten “tidak berfaedah” yang tersebar melalui Tik Tok dan ketidaksetujuan mereka tentang adanya konten-konten negatif tersebut. Apabila keberadaan Tik Tok terus dibiarkan, maka demand untuk video-video “menarik” akan terus ada, dan begitupun supplynya dari para pengguna Tik Tok muda – dengan pemblokiran, diharapkan bahwa jumlah pemuda yang melakukan dan mencari video tontonan seperti itu akan berkurang. Memang para netizen dapat beralih kepada aplikasi lain – namun, aplikasi lain tersebut mungkin memiliki peraturan lebih tegas yang sudah ditetapkan dan digunakan oleh orang-orang untuk fungsi berbeda, sehingga demand untuk video seperti konten-konten yang viral di Tik Tok berkurang.


Namun, ada beberapa hal lain yang dapat dipertimbangkan: pertama, aplikasi tersebut merupakan platform sosial yang tujuan utamanya bukan untuk menyebarkan konten-konten tidak pantas – hal tersebut hanya dilakukan oleh sebagian user yang menyalahgunakan aplikasi tersebut dan mereka yang menggunakannya secara “tertib” terkena imbas tidak dapat mengakses aplikasi tersebut. Faktanya, ada aplikasi-aplikasi media sosial lain yang juga bukan untuk menyebarkan hal-hal tidak pantas yang memiliki konten-konten yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, namun tidak pernah diblokir seperti Tik Tok.


Terlebih lagi, memblokir aplikasi memakan dana negara, dan tidak dapat menjadi jaminan bahwa seseorang tidak tetap bisa membuka aplikasi tersebut dengan cara lain, seperti contohnya dengan menggunakan jaringan VPN. Pasal 40 dari UU ITE yang memperbolehkan pemblokiran juga telah mendapat kritisi, salah satunya oleh Anggara, seorang anggota Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) di Indonesia yang mengatakan, “Sayangnya, pembahasan revisi UU ITE antara pemerintah dan DPR RI berlangsung tertutup dan hasilnya malah memperbesar kewenangan pemerintah untuk melakukan penutupan akses terhadap situs atau aplikasi tertentu tanpa proses hukum yang adil dan tidak terkait dengan tindakan penegakkan hukum pidana.”


Jalan tengah yang dapat diambil adalah melakukan perjanjian dengan pengurus aplikasi tersebut bahwa Kemenkominfo dapat membuka blokir untuk Tik Tok apabila mereka setuju untuk menghapus konten-konten tertentu atau melakukan hal-hal lain yang dapat mencegah penyebaran informasi terlanggar tersebut. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah, dan akhirnya mendapatkan respon dari pihak Tik Tok setelah pemblokiran dilakukan. Bagian-bagian dari perjanjian tersebut yang diketahui adalah penaikkan usia minimal pengguna dari 12 menjadi 16 tahun, pembukaan cabang kantor operasional Tik Tok di Indonesia, mengizinkan pemerintah melakukan pemantauan aplikasi, dan menghapus video-video yang dinilai tidak sesuai moral dan etika Indonesia. Selain itu, pemerintah juga dapat meningkatkan literasi penggunaan media sosial, agar rakyat sadar konten apa yang boleh dan yang tidak boleh, serta melaporkan konten-konten yang seharusnya tidak boleh ada tersebut. Ini pun meringankan pekerjaan pemerintah dan sekaligus memperbolehkan rakyat terus mengekspresikan diri.


Menurut kalian, apakah pemblokiran Tik Tok merupakan sesuatu yang “menghadang demokrasi”? Ataukah kalian setuju bahwa ada cara lain yang lebih “berfaedah dan berkualitas” untuk mengomunikasikan diri dibandingkan cara-cara yang dipopulerkan oleh Tik Tok? Dannapakah ini berarti seluruh aplikasi tersebut memang sudah sepatutnya diblokir?


Tentang Kami
Anda beropini? Kami menyuarakan!

Suarakan tulisan anda bersama Panah Kirana. Kirimkan tulisan apa saja ke email kami dan akan kami suarakan di dalam kolom!

*Format: nama, judul, tulisan

Kirim Tulisan
Cari dengan tagar
No tags yet.
Social Media PANAH KIRANA
  • line
  • Instagram Social Icon

Ikuti terus perkembangan kami

bottom of page