Kebebasan Pers di Negara-Negara ASEAN: Bagaimana Kabarnya?
sumber gambar: google.com
PANAH KIRANA - Sama seperti tahun sebelumnya, kesepuluh negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Perbara) atau yang biasa dikenal dengan sebutan ASEAN kembali menduduki peringkat sepertiga dari bawah di World Press Freedom Index 2018 yang disusun oleh organisasi Reporters Without Borders. Dari total 180 negara di indeks tersebut, negara ASEAN dengan peringkat paling tinggi ialah Indonesia, yang berada di posisi ke-124. Setelah melihat peringkat yang diduduki negara-negara ini, mungkin ada yang kemudian akan bertanya, “Bagaimana keadaan pers untuk para negara anggota ASEAN?”
Salah satu kejadian baru yang berkaitan dengan perihal ini adalah penjatuhan hukuman penjara tujuh tahun kepada dua jurnalis Reuters di Myanmar pada Senin 3 September (3/9) kemarin. Kedua jurnalis tersebut, Kyaw Soe Oo dan Wa Lone, telah melakukan sebuah penyelidikan tentang pembunuhan sepuluh pria Rohingya yang dilakukan aparat militer pada 2 September 2017 di sebuah desa bernama Inn Din. Sekitar tiga bulan kemudian, keduanya ditangkap setelah bertemu dengan polisi yang memberikan mereka dokumen yang diduga mengandung rahasia negara.
Meskipun Wa Lone dan Kyaw Soe Oo ditangkap untuk kepemilikan dokumen yang bersifat rahasia tersebut, Wa Lone bersaksi bahwa interogasi polisi justru berpusat kepada laporan dan penemuan kasus pembunuhan yang diselidiki. Wa Lone mengungkapkan seorang perwira menawarkan “kemungkinan negosiasi” jika laporan tentang pembunuhan tersebut tidak dipublikasikan, namun tawaran tersebut ia tolak. Seorang polisi pun mengaku bahwa pertemuan antara polisi dan kedua jurnalis merupakan jebakan untuk Kyaw Soe Oo dan Wa Lone, dan dokumen yang ditemukan di mereka sebenarnya bukan rahasia negara.
Terlepas dari semua itu, hakim Ye Lwin tetap menjatuhkan dua jurnalis Reuters itu hukuman penjara tujuh tahun. Salah satu konsiderasi Ye Lwin ialah karena keduanya memiliki kontak dari salah satu kelompok pemberontak, meskipun ini merupakan sesuatu yang lazim bagi jurnalis Myanmar lainnya. Menanggapi keputusan ini, protes-protes dengan lantang disuarakan oleh penduduk Myanmar dan berbagai belahan dunia lainnya, yang mengecam bahwa pemenjaraan ini merupakan sebuah kemunduran besar kebebasan pers dan demokrasi di Myanmar. Ini hanya merupakan satu dari puluhan kasus tercatat lainnya di Myanmar, dan bagian kecil dari pelanggaran kebebasan pers yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara.
Meskipun setiap negara ASEAN tentunya memiliki kondisi dan permasalahan sendiri, ada beberapa faktor yang sama-sama memengaruhi perkembangan pers di sepuluh negara tersebut. Faktor tersebut antara lain:
1. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi ini termasuk tekanan finansial, seperti yang terjadi di Singapura. Di negara maju ini, pemerintah dapat membuat jurnalis kehilangan pekerjaan dan tidak bisa mencari profesi baru atau menuntut mereka dengan hukuman yang dapat mengakibatkan pembayaran denda tidak kecil. Contoh lain dari pemerintah melakukan tekanan finansial ialah kejadian pada tahun lalu di negara Kamboja, ketika sebuah koran yang ditemukan pada tahun 1993, The Cambodia Daily, terpaksa tutup setelah perusahaan tersebut gagal membayar 6.3 juta dolar Amerika, yang pemerintah klaim merupakan utang. Tekanan finansial ini biasa dijatuhkan ketika media mempublikasikan kritik yang dianggap dapat membahayakan posisi pemerintah atau negara. Akibatnya, self-censorship menjadi sesuatu yang sering dilakukan oleh media di negara-negara ASEAN demi kelangsungan hidup media. Melalui uang, pemerintah dan partai-partai politik juga dapat memanipulasi konten dari media, sehingga pers tidak lagi menjadi independen.
2. Kampanye kebencian, pelecehan dan kekerasan
Permasalahan yang juga dihadapi pers di negara ASEAN adalah kampanye-kampanye kebencian yang mendiskreditkan jurnalis, yang dapat menyebabkan adanya ketidakpercayaan atau bahkan kebencian rakyat terhadap pers. Selain itu, para jurnalis terutama jurnalis wanita, juga mengalami pelecehan baik di lapangan maupun di platform media sosial dan bahkan kekerasan yang dapat membuat mereka merasa keselamatan mereka terancam dan ragu untuk meliput suatu berita. Setelah memaparkan bahwa kekerasan terhadap pekerja media di Indonesia pada tahun 2017 masih tergolong tinggi, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan, mengatakan kepada BBC, “Artinya, masyarakat belum mengapresiasi kerja jurnalistik secara baik. Sengketa dengan wartawan kerap diselesaikan dengan kekerasan.”
3.Situasi Politik Negara
Setelah reunifikasi Partai Komunis Vietnam pada 1975, kebebasan berekspresi di Vietnam yang menduduki peringkat 175 dari 180 negara di World Press Freedom Index 2018 sangat dibatasi. Di negara ini, tidak ada media yang independen; semua berada dibawah partai komunis tersebut. Mereka yang ingin mempublikasikan informasi independen seperti blogger dan citizen-journalists diancam dengan pemenjaraan dan kekerasan dari pihak kepolisian. Di Laos, hampir seluruh media juga dimiliki oleh sebuah partai politik, The Lao People’s Revolutionary Party. Media yang tidak milik partai tersebut pun diawasi dengan ketat dan harus mengikuti peraturan censorship yang mereka tentukan.
Selain adanya partai atau pihak-pihak kuat yang mengambil alih media, pergantian pemerintah di sebuah negara juga dapat memengaruhi kebebasan pers secara signifikan. Sejak Rodrigo Duterte menjabat sebagai Presiden Filipina di tahun 2016, puluhan jurnalis sudah dibunuh, sedangkan jurnalis lainnya yang mengkritik, menentang, atau tidak sejalan dengan visi dan misi presiden harus menangani kebencian yang disebarluaskan dan penuntutan dari hukum-hukum nasional.
Sebaliknya di Malaysia, sejak naiknya Perdana Menteri Mahathir Mohamad, penduduk Malaysia mengalami optimisme untuk kebebasan pers dan ekspresi. Mahathir berjanji untuk menghilangkan peraturan “Fake News” yang penuh dengan ambiguitas.
“Warga Malaysia mengalami kebebasan berbicara yang belum pernah mereka alami sebelumnya, dan akan sulit bagi pemerintah untuk mengembalikannya,” ucap Steve Gan, situs berita independen Malaysiakini, kepada Times.
4. Perundang-Undangan dan regulasi lainnya
Kini, keberadaan hukum-hukum atau regulasi tertentu dinilai dapat membahayakan kebebasan pers. Ini dapat dikatakan ada di setiap negara anggota ASEAN, baik di Thailand dengan peraturan Computer-Related Crime Act yang disahkan pada tahun 2016 maupun di Brunei dimana ada perundang-undangan yang menghadang penghujatan atau kritik terhadap Kesultanan. Tentunya, Indonesia bukan eksepsi dari ini.
Di Indonesia, ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dikhawatirkan dapat berdampak serupa. Undang-undang ini menjerat seorang jurnalis pada Juni 2018 kemarin, Muhammad Yusuf, meskipun berbagai pihak seperti ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) dan ketua AJI menolak tindakan ini. Tahun ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan UU MD3, yang dapat menjatuhkan pemenjaraan bagi mereka yang mengkritik DPR, termasuk pers, meskipun tidak diketahui secara jelas apa yang dimaksud dan menjadi batasan mengenai “kritik”.
Secara kesimpulan, masih banyak yang harus dilakukan oleh negara-negara ASEAN untuk kebebasan pers yang lebih baik lagi, baik dari pemerintah dan peraturan-peraturannya maupun rakyatnya sendiri. Terlepas dari proses panjang dan kesulitan-kesulitan yang harus ditempuhi, kebebasan pers ini harus terus diperjuangkan karena ini merupakan hal penting untuk kehidupan demokratis sebuah bangsa. Tentunya, kebebasan ini tidak untuk disalah gunakan, sehingga edukasi tentang kode etik jurnalistik juga merupakan sesuatu yang penting.