top of page

Rasa Keadilan Terusik, Salahkah Hakim? – Diskusi Kasus Meiliana


PANAH KIRANA - Setelah dua tahun proses kasus Meiliana, akhirnya vonis diketok pada 21 Agustus 2018, menyatakan bahwa Meiliana terbukti menista agama Islam dan dijatuhi hukuman penjara selama 18 bulan. Kasus ini sejak awal hingga akhir putusan telah menimbulkan banyak kontroversi dan perbedaan pendapat di berbagai kalangan masyarakat. Menanggapi hal ini, Himpunan Mahasiswa Fakultas Hukum (HMFH) UPH mengadakan diskusi terbuka pada tanggal 26 September 2018 lalu yang dilaksanakan di ruangan 408, Gedung D, UPH. Diskusi ini diawali moderator dengan memaparkan kronologi kasus melalui pemutaran video secara singkat.


Kasus ini bermula tepatnya pada 29 Juli 2016 ketika Meiliana, seorang warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara, menyampaikan protes terhadap suara azan yang berkumandang dari Masjid Al-Maksun. Sayangnya, perkataan Meiliana menyebar di masyarakat dan berkembang sampai menjadi berbeda dengan yang sebenarnya. Suasana kemudian menjadi tegang, dan kerusuhan pun pecah. Sedikitnya, tiga vihara, delapan klenteng, dua yayasan Tionghoa, satu tempat pengobatan, serta rumah Meiliana rusak. Sekitar delapan orang yang terlibat perusakan tersebut ditangkap polisi dan dijatuhi hukuman sekitar 1-2 bulan penjara.

Dalam Diskusi Terbuka ini, moderator mengangkat tiga garis besar untuk menjadi bahan diskusi. Apakah Meiliana bersalah? Pantaskah hukuman yang didakwakan kepada massa yang mengamuk? Apakah Pasal Penodaan Agama masih diperlukan?


Untuk menjawab pertanyaan pertama, berbagai pendapat bermunculan. Di satu sisi, tindakan Meiliana tidak sepenuhnya benar karena waktu dan cara ia mengkritik bisa dikatakan tidak tepat. Di sisi yang lain, jika dibandingkan dengan hukuman para perusak, hukuman yang diterima Meiliana sangat tidak adil. Walaupun tidak ada yang boleh mengatakan bahwa vonis hakim itu salah, jelas terlihat bahwa putusan itu tidak adil. Sangat disayangkan bahwa opini publik sangat menentukan pertimbangan hakim. Akibatnya, hakim mendapat tekanan psikologis yang dapat memicu pada putusan yang tidak adil. Lembaga yudikatif merupakan lembaga yang independen, dan harus mengutamakan keadilan. Nahas, mengapa vonis ini jomplang? Meskipun umat Islam di Indonesia tergolong mayoritas, syariat Islam tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang. Sebenarnya, aturan yang mengatur seputar suara azan sudah ada. Namun, tidak ada sanksi yang jelas apabila aturan tersebut dilanggar. Pelanggaran tersebut yang menjadi pertanyaan oleh Meiliana. Mengapa suara azan menjadi semakin keras? Ketika seseorang atau sekelompok masyarakat tidak dapat menerima kritik konstruktif, hal ini menandakan bahwa mereka belum dewasa. Ketidakdewasaan ini yang menjadi penyebab kerusuhan bisa pecah.


Masalah penistaan agama sebenarnya diatur dalam Pasal 156a KUHP. Pertanyaannya adalah, apakah pasal ini masih diperlukan? Berbagai pendapat kembali bermunculan. Ada yang berpandangan bahwa pasal ini menyebabkan kelompok masyarakat tertentu tidak memiliki hak-hak kebebasan berpendapat. Pandangan ini didukung dengan adanya kemajemukan di Indonesia. Demi melindungi hak-hak serta kemajemukan masyarakat Indonesia, menurut pandangan ini, Pasal 156a KUHP seharusnya dihapuskan. Namun kemudian, ada beberapa pandangan yang kurang setuju, yang berpendapat bahwa pasal ini masih perlu dipertahankan. Ketiadaan pasal ini, ditakutkan akan dimanfaatkan sebagai pelindung oleh partai politik dan kelompok mayoritas saja. Selain dipertahankan, pasal ini juga harus direvisi. Salah satu kelemahan dari Pasal 156a KUHP ialah hilangnya tolak ukur yang jelas, serta batasan-batasan akan mana yang termasuk penistaan dan mana yang tidak. Penentuan batasan harus diputuskan oleh suatu instansi yang independen untuk menilai kalau suatu kasus termasuk penistaan agama atau tidak.


Mayoritas peserta diskusi terbuka tidak setuju bahwa keputusan hakim dalam kasus ini adalah adil. Fasilitas umum dan rumah-rumah ibadah yang dihancurkan oleh massa yang mengamuk, dan hanya didakwakan dua bulan penjara, tidak sepadan dengan hukuman Meiliana, yang pada saat itu hanya menyampaikan pendapat berupa keluhan. Mayoritas peserta juga setuju bahwa Pasal Penodaan Agama masih diperlukan. Namun, perlu diadakan revisi dengan menambahkan parameter yang jelas agar tidak ada miskonsepsi atau salah penafsiran dalam hal penodaan agama. Akan tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa Pasal Penodaan Agama sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi. Di masa sekarang ini, hak-hak konstitusional masyarakat untuk berpendapat serta mengkritik konstruktif kepada agama maupun pemerintah sudah dikedepankan, sehingga pasal ini seharusnya dihilangkan. Menanggapi pendapat ini, masyarakat perlu melihat dari sisi sosiologis juga. Kenyataannya, kalau masyarakat belum siap dengan ketiadaan pasal ini, penistaan agama akan jauh lebih marak terjadi.


Sebagai seorang mahasiswa, terutama mahasiswa fakultas hukum, kita harus sadar akan segala kasus yang sedang terjadi dalam masyarakat. Oleh sebab itu, pembaca sangat disarankan untuk memiliki sikap non-apatis dan mau berkontribusi dalam diskusi-diskusi semacam ini. Ilmu-ilmu yang didapat dari diskusi seperti ini justru akan menjadi modal terpenting bagi setiap orang.


Tentang Kami
Anda beropini? Kami menyuarakan!

Suarakan tulisan anda bersama Panah Kirana. Kirimkan tulisan apa saja ke email kami dan akan kami suarakan di dalam kolom!

*Format: nama, judul, tulisan

Kirim Tulisan
Cari dengan tagar
No tags yet.
Social Media PANAH KIRANA
  • line
  • Instagram Social Icon

Ikuti terus perkembangan kami

bottom of page