Netflix: Sebuah Alternatif
“Eh, kalian udah selesai nonton Black Mirror belum?” “Wah kalo gue sih suka banget sama Stranger Things.” “Parah ya, 13 Reasons Why yang Season Dua keren banget. Ga sabar deh buat Season Tiga.”
PANAH KIRANA - Percakapan diatas tentunya tidak asing lagi, yakni percakapan yang sering kali diperbincangkan di kalangan masyarakat, khususnya anak remaja hingga dewasa muda. Di dalam era teknologi seperti sekarang ini, hiburan online bukan lagi suatu hal yang asing, tetapi sudah menjadi kebiasaan dan kebutuhan pribadi bagi kalangan-kalangan tertentu di dalam masyarakat, khususnya bagi para pemuda. Hiburan online dalam bentuk film dan TV series seperti yang disuguhkan oleh Netflix sudah menjadi konsumsi sehari-hari bagi kaum milenial. Netflix merupakan aplikasi penyedia layanan media daring atau online yang dapat diakses melalui ponsel pintar, tablet, dan komputer. Aplikasi ini berasal dan bermarkas dari California, Amerika Serikat, dan didirikan oleh Reed Hastings dan Marc Randolph pada tahun 1997. Netflix telah berhasil menguasai pasar industri kreatif bidang perfilman, dengan meraih jumlah pelanggan tetap atau subscribers sebanyak 137 juta pelanggan di seluruh dunia, terhitung sejak bulan Juli 2018. Netflix juga dapat diakses di 190 negara di dunia, termasuk Indonesia.
Netflix telah tercatat masuk ke Indonesia secara resmi pada 7 Januari 2016. Mekanisme penggunaan Netflix juga tidak berbeda dari para pendahulu penyedia layanan hiburan televisi berbayar seperti Indovision. Untuk mengakses layanan Netflix, pengguna harus berlangganan dengan memilih salah satu dari tiga paket yang telah disediakan dan ditawarkan oleh Netflix, yakni paket Basic dengan biaya Rp 109.000 per bulan, paket Standard dengan biaya Rp 139.000 per bulan, dan paket Premium dengan biaya Rp 169.000. Perbedaan dari paket- paket yang ditawarkan merupakan kualitas video yang ditampilkan, serta jumlah devices atau perangkat yang dapat digunakan oleh pengguna dalam real time. Kehadiran Netflix di Indonesia ini semakin memanjakan beberapa kalangan di Indonesia, khususnya bagi penikmat dan pecinta film, juga kaum milenial dan dewasa muda yang khususnya menetap di daerah urban. Sebelum Netflix hadir secara resmi di Indonesia, beberapa kalangan di Indonesia sudah mengetahui keberadaan Netflix serta keasyikan dalam menggunakannya. Bagaimana tidak, pengguna dapat mengakses ribuan TV Series dan film secara tidak terbatas dengan membayar biaya langganan per bulan. Meningkatnya permintaan serta antusiasme masyarakat Indonesia terhadap Netflix mendorong Netflix untuk mengembangkan sayap pemasarannya di Indonesia. Alhasil, Netflix pun akhirnya secara resmi diperbolehkan di Indonesia, walaupun sampai saat ini belum ada Undang-Undang atau aturan yang menaungi keberadaan Netflix di Indonesia secara lengkap dan komprehensif. Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia, Rudiantara, mengatakan bahwa operasi Netflix di Indonesia, selain berkaitan dengan Undang-Undang perfilman, juga berkatian dengan sensor film. Hal ini disebabkan oleh beberapa TV Series dan Film di Netflix yang belum tersensor oleh Lembaga Sensor Film Indonesia.
Lantas, apa yang membuat Netflix lebih digemari oleh para kalangan tersebut daripada acara televisi konvensional? Jawabannya sangat sederhana, yaitu konten. Konten mempunyai peran yang sangat signifikan dalam ‘merebut hati’ para pelanggan. Kesuksesan YouTube pada awal tahun 2009 telah menjadi katalis bagi para content creator untuk membuat kontennya sendiri melalui platform YouTube. Kebebasan para seniman dalam menciptakan konten, tentunya masih menurut ketentuan dan kebijakan platform tersebut, telah menarik perhatian banyak orang, terlebih lagi para milenial yang masih fresh, idealis, dan juga blak-blakan. Mengapa? Karena kaum milenial menyukai hal yang bersifat apa adanya, tidak scripted atau diatur, dan juga edukatif dan informatif. Kaum milenial dan dewasa muda juga menggemari konten yang bersifat fresh, dalam arti tidak membosankan atau klise, dan juga konten-konten eksplisit. Dengan memahami tren dan taste para pengguna, Netflix berhasil meraup para pengguna untuk berlangganan dengan menyediakan tontonan yang kreatif, tidak membosankan, dan fresh. Alhasil, para pengguna rela untuk menyisihkan beberapa rupiah untuk menonton konten-konten Netflix. Sebut saja beberapa Netflix series seperti Black Mirror, sebuah serial lepas yang menceritakan tentang bahayanya perkembangan teknologi bagi kehidupan manusia, dan 13 Reasons Why, sebuah seri tentang seorang gadis yang bunuh diri akibat menjadi korban bullying, telah berhasil menyita perhatian para pecinta film di Indonesia.
Berbeda dengan stasiun televisi yang dapat kita temukan sehari-hari, Netflix menyuguhkan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dengan kultur Indonesia. Dalam hal kebebasan menciptakan konten, hal tersebut tidak dapat diwujudkan dalam dunia pertelevisian. Hal ini disebabkan oleh stasiun televisi yang masih berpegang dan berpacu pada taste mayoritas, dan juga regulasi terkait sensor. Hal ini dapat dilihat melalui banyaknya jumlah sinetron yang disajikan oleh tiap televisi. Meskipun ada beberapa stasiun televisi yang tidak menyuguhkan sinetron, nyatanya sinetron dan talk show masih menduduki chart dan rating tertinggi di pertelevisian Indonesia. Yang lebih membingungkan lagi, stasiun televisi juga kurang menyediakan tontonan yang baik dan mendidik bagi anak dibawah umur, dan masih banyak acara-acara talkshow yang cukup “vulgar” untuk dipertontonkan secara masal. Alhasil, dari tahun ke tahun, acara televisi dinilai kurang menarik bagi beberapa pihak. Karena itu, orang- orang dari kalangan pencinta film serta kaum milenial yang membutuhkan konten fresh mulai beralih ke platform lain seperti Netflix. Salah satu mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) angkatan 2016 berpendapat, “Kalo saya secara pribadi, Netflix itu menyajikan tayangan tayangan yang cocok dengan taste saya, apalagi sekarang kita bisa nonton Netflix dari smartphone dan juga laptop.” Ketika tidak ada tontonan yang menarik bagi para kaum milenial, mereka pun beralih ke Netflix untuk mencari alternatif lain. Seorang mahasiswi School of Design UPH angkatan 2015, juga berpendapat yang sama. “Kalo di Netflix itu enaknya mereka bisa tahu kita suka film jenis apa. Jadi setiap abis nonton, mereka langsung ada rekomendasi film sejenis yang kita suka,” ujarnya. Netflix juga menerapkan sistem algoritma, yakni sistem yang mengerti tontonan jenis apa yang disukai oleh para penonton.
Karena trennya yang sangat besar, kini penggunaan Netflix pun semakin pesat seiring berjalannya waktu, dan hal ini juga dipengaruhi oleh media sosial yang memiliki peran penting dalam pemasaran Netflix.
Contohnya, banyak sekali pengguna Netflix yang mengunggah TV series atau film yang ditonton ke media sosial. Ketika tautan yang diunggah dilihat oleh para viewers, secara otomatis dapat menimbulkan rasa keingintahuan bagi para viewers. Ketika mereka merasa tertarik untuk menonton TV series yang hanya dapat diakses melalui Netflix, mereka pun memutuskan untuk ikut berlangganan. Meskipun Netflix kian digemari oleh berbagai kalangan, kehadiran Netflix di Indonesia terpaksa menelurkan pro dan kontra di masyarakat, khususnya bagi para Internet Providers atau Penyedia Jasa Layanan Internet di Indonesia seperti Telkomsel, Biznet, dan First Media. Telkomsel berpendapat bahwa keberadaan Netflix di Indonesia belum memiliki dasar hukum yang jelas, dan hal ini yang mendorong Telkomsel untuk memblokir seluruh layanan Netflix melalui jasa layanan internetnya. Stasiun televisi juga khawatir penonton televisi di Indonesia akan menurun. Hal ini terbukti ketika Netflix mulai beroperasi di Indonesia, saham MNC di pasar saham turun sebanyak tiga persen.
Keberadaan Netflix di Indonesia memang baik, namun harus tetap didukung oleh pemerintah, khususnya Kominfo. Dengan menciptakan hukum baru yang mengatur Netflix di Indonesia, pemerintah dapat bekerja sama dengan Netflix dalam mewujudkan serta menyajikan konten- konten yang baik bagi masyarakat. Pemerintah juga harus jelas dalam menetapkan regulasi terkait sensor di Indonesia, khususnya pada ranah talk show. Akan sangat tidak adil jika sensor hanya diterapkan kepada platform asing, tetapi tidak pada acara-acara televisi yang dinilai kurang cocok untuk dipertontonkan secara masal.